Lucunya Negeri Ini, Seorang Rektor pun Dapat Bansos dari Presiden



Entah mau bersikap tepuk kening atau malah memaklumi, agaknya kita cukup bingung menerima berbagai fenomena bantuan sosial yang terjadi di lapangan saat ini. Agaknya sistem penyaluran Bansos begitu rumit hinggalah hal-hal sepele pun dipermasalahkan.

Bagaimana tidak sepele, hanya gara-gara kekurangan tas berlabel "Bantuan Presiden", pendistribusian Bansos jadi terhambat. Agaknya humor seperti ini kurang begitu lucu.

Terang saja, di saat-saat duka seperti ini pencitraan sudah tiada harganya lagi. Rakyat yang kekurangan butuh makan nasi, bukan malah makan tas bermerek. Kalau saja rakyat yang kekurangan mendengar berita ini, pastilah mereka tambah sedih dan menyayangkan birokrasi.

Mau tidak mau, Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto mesti turun tangan berkomentar. Ia menyayangkan keterlambatan pemberian bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat terdampak Covid-19 karena tas jinjing yang belum tersedia.

"Jadi keterlambatan itu ya kita sayangkan kalau alasannya tas bertuliskan bantuan presiden. Kan bukan tasnya yang mau dimakan, tapi berasnya sama bahan-bahan pokoknya," kata Yandri ketika dihubungi wartawan, Kamis (30/04/2020).

Yang lebih lucu lagi, setelah dijelaskan oleh Mensos, penyebab belum tersedianya tas berlabel lengkap "Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19" ini berawal dari repotnya mendapat bahan baku tas yang harus impor.

Tambah bingunglah kita. Rasanya akan banyak muncul prasangka-prasangka unfaedah. Bahan tasnya beli di mana, dibuat oleh siapa, serta siapa yang bertanggungjawab. Bantuan dari rakyat dan oleh rakyat, haruskah ditambah embel-embel nama seorang "Raja"?

Sudah seperti pertanyaan proyek besar saja! Sepertinya sepele, tapi kebiasaan seperti ini dari pihak pemerintah harus segera diluluh-lantakkan.

Jika dipikir-pikir lagi, andai memang sebegitunya membutuhkan tas, mengapa tidak berdayakan saja saudara-saudara kita yang beralih profesi sebagai perajut masker. Toh, mereka juga bisa lebih mudah mendapatkan bahan kain untuk membuat tas. Di sinilah kita makin sedih.

Hebatnya, belum selesai embel-embel tentang tas yang bermerek "Bantuan Presiden", muncul lagi kasus lucu lain yang bertajuk salah kirim Bantuan Sosial (Bansos). Bansos yang mestinya harus sampai di tangan rakyat miskin, malah singgah di tangan orang yang "berada."

Adalah Seorang Rektor sekaligus Profesor Universitas Ibnu Chaldun bernama Musni Umar yang membuat pengakuan via Twitternya bahwa ia telah menerima Bansos dari Jokowi baru-baru ini.

"Bansos dari  Presiden RI yg sy terima, saya serahkan kembali kepada Jalil Loilatu, Ketua BEM Universitas Ibnu Chaldun . Saya sarankan kalau ada  Bansos terima saja. Jika merasa tdk berhak berikan kepada yg lebih memerlukan. Tdk usah jadi polemik." Ucap Musni Umar via Twitter pada 30 April 2020.

Sejatinya, sikap Rektor yang merupakan seorang master ilmu Sosiologi ini patut diulik lagi. Beruntung barang bantuan rakyat miskin itu sampai kepadanya. Tapi, andai Bansos ini sampai di tangan orang "berada" lainnya, apakah mereka akan membuat pengakuan seperti ini?

Tanda tanya besar bagi kita semua. Selain itu, pertanyaan yang lebih penting yang mengganjal di benak kita adalah, mengapa data rakyat yang berhak menerima sembako begitu amburadul. Apakah para penanggungjawabnya hanya sekadar fotocopy data lama?

Sudah muncul polemik seperti ini, barulah pihak Kemensos membuat pengakuan. Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial, Hartono berucap bahwa pihaknya menerima Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang terakhir terkelola masif pada tahun 2015.

Data 5 tahun yang lalu, agaknya cukup wajar bisa kita cap sebagai data amburadul. Waktu 5 tahun sudah lebih dari cukup untuk membuat seseorang yang kaya jadi miskin, atau yang miskin jadi kaya.

Terang saja, pergolakan dunia kerja tidaklah bisa ditebak. Hari ini baik-baik saja, hari esok bisa saja kena PHK. Maka dari itulah, kinerja daerah perlu dipertanyakan lebih lanjut. Apakah ada salah input data, salah ketik, atau malah malah mendata di lapangan? Lagi-lagi tanda tanya.

Akan terbuang percuma saja Bansos jika dilayangkan kepada orang-orang berada seperti Rektor maupun PNS. Seharusnya, orang-orang berada inilah yang wajib memberikan bantuan walau hanya sekadar sukarela.

Sejadinya, semakin sedihlah kita mendengar berita bahwa ada rakyat miskin yang terlewat alias tidak dapat Bansos. Sudah datangnya telat, jumlahnya tidak seberapa pula! Apakah para penyalur ini sudah tidak terlalu zalim.

Tambah lagi, Kemensos sepertinya juga kekurangan data-data akurat. Bagaimana bisa negeri ini mewujudkan pemberian bantuan yang tepat sasaran. Jika kemudian kita sandingkan dengan label Bansos tadi, makin tampak jelas kelucuannya. Data amburadul, birokasi rumit.

Padahal semestinya keberadaan bencana besar seperti Covid-19 bisa memangkas birokrasi tanpa harus dipersulit sana-sini. Apalagi ini namanya bantuan sosial, bantuan yang sangat dibutuhkan oleh sandara-saudara kita yang sedang kelaparan.

Kalau saja kita lebih lama menggunakan hati, rasanya sudah begitu banyak air mata kesedihan dan keprihatinan terhadap nasib mereka yang kekurangan. Mau tidak mau, pemerintah pusat dan daerah mesti kerja lebih keras, jujur, transparan, akurat dan tegas dalam memberi Bansos.

Belum ada Komentar untuk "Lucunya Negeri Ini, Seorang Rektor pun Dapat Bansos dari Presiden"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel